Professor Alan Brill dan Visi Multikultural IAIN Manado

Penulis: Sulaiman Mappiasse
Professor Alan Brill

Professor Alan Brill akan menyampaikan kuliah umum di IAIN Manado seputar tema kesepahaman dan hubungan antar umat beragama, khususnya antara umat Muslim dan Yahudi pada tanggal 11 Juli 2019.
Prof. Alan adalah rabbi dan dosen di Seton Hall University, New Jersey, USA. Beliau menjabat sebagai ketua Program Jewish-Christian Studies di Jurusan Agama.
Beliau adalah penulis buku Judaism and World Religions (2012).
Dalam hal kesepahaman dan hubungan antar agama, beliau memiliki pendekatan yang berbeda dari pendekatan pluralisme liberal.
Paham pluralisme liberal menekankan prinsip kebebasan individu sehingga agama dipahami sebagai urusan pribadi. Berdasarkan prinsip ini, penganut agama yang berbeda dianggap dapat hidup damai dan rukun tanpa harus saling mengenal agama masing-masing. Agama dianggap sebagai pilihan dan selera pribadi masing-masing individu sehingga pemeluk agama yang satu tidak perlu mengenali apalagi menanyakan keyakinan orang lain.

Pluralisme sebagai Hambatan
Menurut Prof. Alan, pendekatan ala pluralisme liberal ini problematis. Dia mengumpamakan cara pandang seperti ini layaknya orang yang berpandangan bahwa semua jenis masakan hanya soal selera pribadi. Selera makan adalah urusan pribadi sehingga saat masing-masing dari kita mencicipi berbagai jenis makanan, kita tidak perlu berusaha tahu tentang siapa yang memasak, bagaimana mereka memasak dan bagaimana mereka meramu bumbu masakannya.
Dalam bukunya, dia menyebutkan beberapa alasan mengapa paham pluralisme liberal dapat menjadi penghambat kesepahaman dan hubungan antar umat beragama.
Pertama, konsep pilihan pribadi menjadikan semua agama dipahami dalam konstruk Barat, bukan dalam konstruk asli agama-agama itu, bahwa agama terkait dengan orang, masyarakat dan tanggungjawab.
Kedua, konsep seperti ini tidak memberikan dorongan keluar mencari tahu, tidak memberikan rasa ingin tahu, dan tidak mendorong hubungan pertemuan antar umat.
Ketiga, konsep seperti ini menghilangkan semua rincian agama-agama.
Membaca pandangan ini, saya teringat keluhan seorang kawan kepada saya pada suatu hari, soal anaknya yang bersekolah di Australia Selatan. Dia berkata, "Bagaimana ya sekolah anak saya itu memahami toleransi? Mereka tahu bahwa anak saya itu Muslim. Tetapi, saat ada kelas Bible, anak saya diwajibkan ikut kelas Bible, tanpa meminta persetujuan dari saya sebagai orang tuanya."
Saya menanggapi, "Mungkin karena mereka tidak paham apa arti menjadi seorang Muslim"

Konsep Theology of the Other
Prof. Alan menawarkan konsep kesepahaman dan hubungan antar umat beragama yang didasarkan pada pengenalan dan kesadaran bersama bahwa kita memiliki banyak kesamaan tanpa harus meminimalkan perbedaan-perbedaan yang kita miliki.
Konsep ini dia istilahkan dengan theology of the other. Kita sebagai umat beragama memiliki pandangan sendiri tentang agama lain, lalu kita melibatkan diri dalam kegiatan saling mengenal dan berhubungan dengan umat lain dalam kerangka persamaan, tanpa menutupi apalagi mematikan perbedaan yang merupakan refleksi dari keragaman yang kita miliki.
Kita mengetahui bagaimana teks normatif dan pemahaman kita terhadap teks itu melihat agama lain. Di saat yang bersamaan, kita juga siap mendengarkan dengan ketenangan dan kerendahan hati perkataan dan pandangan orang atau agama lain terhadap agama dan keyakinan kita.
Prof. Alan menuliskan dengan tegas,"I reject a simplistic view of all religions in some collective approach where differences are minimized." [hlm. x] (Saya menolak pandangan simpelistik yang memandang semua agama dalam sebuah pendekatan kolektif dimana berbagai perbedaan diminimalisir).
Prof. Alan mengapresiasi pandangan Dalai Lama dalam sebuah tulisan di New York Times dengan judul "Many Faiths, One Truth" (2010). Dalam tulisan ini, Dalai Lama menceritakan pengalamannya menangis bersama dengan seorang rabbi setelah mendengarkan cerita sang Rabbi tentang peristiwa Holocaust, peristiwa pembantain yang pernah dilakukan Nazi di bawah perintah Hitler terhadap kaum Yahudi di Jerman.
Prof. Alan menegaskan bahwa Dalai Lama telah menunjukkan keterbukaan terhadap agama lain. Tetapi di saat yang bersamaan dia tetap eksklusif dalam kepercayaan dan keyakinannya.
Keterbukaan antar sang Dalai Lama dan sang rabbi telah mempertemukan mereka dalam kesamaan universal, yaitu keterbukaan dan keramahan, tanpa harus jatuh ke dalam kekeliruan menyamakan antara agama Buddha dan agama Yahudi.
Prof. Alan menegaskan bahwa di abad sekarang tidak akan ada kedamaian di dunia ini tanpa perdamaian di antara pemeluk agama-agama.
Beliau menegaskan bahwa apa yang ditulisnya dalam bukunya adalah tulisan seorang Yahudi yang merepresentasikan sudut pandang dari pihaknya. Dengan kata lain, kesepahaman dan pertemuan antar agama memerlukan pandangan yang simetris antara pemeluk agama yang berbeda-beda.

Multikulturalisme IAIN Manado: Beragam tetapi Tetap Satu dalam Kebajikan
Saya sering menyampaikan dalam berbagai kesempatan bahwa visi multikultural IAIN Manado tidak didasarkan pada pandangan relativistik yang menyamakan semua agama.
Hal ini perlu dipertegas sebab di kalangan sivitas akademika IAIN Manado ada yang menolak visi multikultural IAIN Manado dengan alasan bahwa itu adalah doktrin liberal yang bertentangan dengan akidah Islam.
Apabila benar bahwa yang dimaksudkan dengan visi multikultural dalam visi IAIN Manado adalah paham yang meniscayakan pendapat bahwa semua agama sama untuk dapat saling memahami dan menghargai antar satu sama lain, maka saya pun akan menolak dengan tegas dan keras visi ini.
Paham multikulturalisme yang didefinisikan sebagai keyakinan bahwa semua agama sama adalah paham yang cacat logika.
Multikultural adalah ungkapan metaforis yang digunakan untuk menunjukkan fakta keragaman dalam berbagai aspek, termasuk agama, suku, bahasa, ekonomi dan sosial. Sikap menerima, menghargai fakta itu, lalu terdorong untuk berpartisipasi dalam kehidupan sehari-hari untuk berkontribusi terhadap kebaikan bersama; inilah yang kita istilahkan dengan paham multikulturalisme.
Kata kuncinya adalah keragaman. Mustahil tercipta masyarakat yang multikultural tanpa ada keragaman. Mustahil pula tercipta keragaman tanpa ada keunikan tersendiri yang menjadi identitas bagi setiap orang atau kelompok masyarakat.
Menyamakan segala sesuatu, termasuk agama, jelas mematikan keragaman yang menjadi syarat mutlak keragaman.

Partikularitas dan Universalitas
Dengan demikian IAIN Manado, guna menerjemahkan visi multikultural, dalam aktivitas pendidikannya, dituntut untuk memperkuat identitasnya dalam berbagai aspek. Tetapi di sisi lain, ia harus menemukan ruang luas untuk bergerak dalam medan yang inklusif umum universal.
Identitas yang kuat dan unik akan menjadi modal penanda yang akan dituju oleh identitas lain dalam medan pertemuan universal.
Sebahagian besar dari ilmu-ilmu keislaman yang kita pelajari dan ajarkan di kampus ini adalah bidang kajian yang bersifat eksklusif, seperti ilmu Kalam, Fiqih, Tafsir, Hadis dan Tasawuf. Alquran dan hadist Nabi SAW. sebagai bahan dan acuan dasar kajiannya mengandung klaim bahwa ajaran Islam adalah paling benar. Itu sah saja, bahkan mutlak diperlukan sebagai bagian dari identitas kita.
Adalah tugas kita mentransformasikan identitas eksklusif tersebut menjadi sebuah kendaraan dalam medan nilai universal, seperti keadilan, keterbukaan dan keramahan bagi semua orang dari berbagai latar belakang.
Di dalam medan nilai universal inilah kita sebagai Muslim harus menunjukkan bahwa kita untuk semua.
Tentu ini tidak mudah untuk diterapkan sebab praktik sosial keberagaman kita sering dibenani dengan belenggu politik identitas. Keterbukaan dan keramahan kepada semua pihak biasa dibaca sebagai pengkhianatan kepada golongan atau kelompok asal kita.

Pengetahuan dan Kompetensi
Dalam praktiknya, terdapat jarak atau kesenjangan yang cukup lebar antara pengetahuan kita bahwa sebagai sesama manusia kita harus saling terbuka, berbagi, dan saling menghidupkan dengan kemampuan kita untuk mewujudkannya dalam kehidupan sehari-hari dalam sebuah masyarakat multikultural.
Seringkali kita tahu apa yang harus kita lakukan kepada sesama manusia yang berbeda agama dan keyakinan. Tetapi di saat yang bersamaan kita tidak punya potensi untuk menerjemahkannya sesuai dengan keyakinan dan pemahaman kita yang terbuka dan ramah.
IAIN Manado dengan visi multikulturalnya, seyogyanya menyiapkan semua warganya (pegawai, dosen dan mahasiswa) untuk memiliki pengetahuan dan kompetensi mempraktikkan sikap-sikap multikultural dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat.
Manejemen, kurikulum, kegiatan, interaksi dan lingkungan kampus IAIN Manado seyogyanya menerapkan nilai-nilai multikultural secara integral.
Memang tidak mudah. Prof. Alan mendorong kita untuk membiasakan diri meninggalkan zona nyaman (leaving the comfort zone) agar supaya pengenalan dan pertemuan antar umat yang beragam dapat mendatangkan kebaikan untuk semua.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.