Lilin Perdamaian Untuk Indonesia
PS3M Manado - Hubbul wathan minal iman. Cinta
Tanah Air adalah sebagian dari iman”. Demikian kata Kiyai Wahab Chasbullah
dalam nasihatnya kepada santri-santrinya.
PS3M/Rusdi; Anak-anak Muslim yang sedang mengikuti aksi solidaritas untuk Korban Terorisme di Surabaya |
Mengapa demikian? Kita ini lahir
di Nusantara. Makan dari hasil bumi yang di tumbuhkan di bumi Nusantara. Minum
air yang dihasilkan pegunungan di Nusantara. Mencari ikan dari lautan di Nusantara. Hidup rukun dan damai di Nusantara.
Lalu, bagaimana bisa kita tidak mencintai negeri ini dan menjaganya?
Menjaga negeri ini, adalah upaya
orang-orang Nusantara untuk mensyukuri Nikmat yang diberikan Tuhan kepada kita.
Nikmat tanah yang kaya dan subur. Dengan berbagai macam suku yang hidup rukun
dan damai. Lalu, mengapa merusaknya dengan tindakan terorisme?
Dalam sudut pandang pesantren,
yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Nusantara yang masih eksis hingga
hari ini, sering mengajarkan bagaimana menjadi orang Nusantara yang beragama
Islam. Jadi, sifat unggulan yang harus di miliki oleh santri Nusantara adalah
adaptif, fleksibel, toleran (saling menghargai dan menghormati), multikulutural
(menghimpun beragam ekspresi budaya masyarakat), guyub, kolektif, mengedepankan
tauladan, sopan-santun dan beradab, saling membantu dan menolong, serta
gotong-royong.
Beragama seperti Parasit
Anda sudah sering mendengar dan bahkan
melihat sendiri bahwa para teroris itu membawa label “Islam” dalam aksi mereka.
Maka, dalam kesempatan ini, kami mengatakan bahwa Islam-Nya itu ibarat tanaman
parasit atau benalu yang merusak dan mematikan “tanaman” kerabatnya.
Sebagai parasit, mereka
menggunakan “Islam” sebagai “pohon induk” lalu mengakibatkan ‘Pohon Induk” itu
mengalami kekurangan energi dan akhirnya mati.
PS3M/Rusdi; Peserta Aksi Solidaritas, Lawan Terorisme. Lokasi, Depan Gereja Sentrum Manado |
Fenomena “Parasitisme” dalam
beragama tersebut secara akademik dapat dilihat dalam dua konsepsi;
Pertama, karena kepercayaan itu berhubungan instrinsik dengan ideologi, yang memungkinkan kepercayaan
itu dimanipulasi, dibuat nyata, dihadirkan atau direpresentasikan sebagai “yang
benar”, meski ia pada kenyataannya tidak benar. Jika kepercayaan erat kaitannya
dengan ideologi, maka keimanan tidak demikian; keimanan adalah suatu
aktualisasi yang non-ideologis, karena ia didasarkan pada pengetahuan atas apa
yang menjadi objek kepercayaannya sedemikian rupa, sehingga membebaskannya dari
representasi palsu kebenaran yang diyakininya.
Dilihat dari sudut pandang ini,
maka fanatisme adalah produk dari kepercayaan, bukan keimanan. Ungkapan fanatisme beragama terdengar kacau
(redundan), karena denotasi yang ditunjuk ungkapan ini adalah fanatisme kepercayaan yang berbalut
agama, dan hal itu bersifat ideologis. Fanatisme,
dengan demikian tidak mungkin lahir dari keimanan, melainkan hasil “sublimasi”
kepercayaan dan ideologi. Fanatisme beragama adalah fenomena manipulasi aspek
kepercayaan dalam agama oleh ideologi, tetapi ia “Bukan Iman Itu sendiri”.
Suatu keimanan tidak dapat
menjadi fanatik, karena ia merupakan ekspresi “kebutuhan untuk percaya” yang
holistik dan telah utuh pada dirinya. Keimanan menjadi identik dengan religiusitas atau fitrah keberagamaan;
Konsepsi manusia sebagai homo religius terletak
di sini.
Kedua, baik kepercayaan maupun keimanan sama-sama memiliki potensi
Fanatisme. Fanatisme dinilai sebagai properti internal dalam iman, yang
potensial (iman juga dapat menjadi gila dan melahirkan kaum fanatik). Pandangan
ini menghindari jebakan idealisasi keimanan sebagai yang murni, yang suci,
seutuhnya terbebas dari potensi inheren untuk melakukan penyimpangan. Di dalam
keimanan itu sendiri, sudah selalu terdapat benih atau potensi fanatisme, yang
membuat keimanan itu menjadi “gila”.
Dinyatakan dalam ungkapan
eksistensialik Kiekegaardian; di dalam keimanan sudah selalu terdapat potensi
bagi seorang pengiman untuk mengalami lompatan ke seberang, suatu pengalaman
eksesif, kegilaan yang mengubah Altaritas. Kelainan, menjadi Altaritas, Altar Pengkorbanan, suatu pengalaman
yang, menurut Kierkegaard, “Pengalaman Etikal”,dan memungkinkan sang pengiman
menjadi seorang “kriminal” (outlaw).
Di dalam lompatan melanggar
perbatasan ini, seorang pengiman dapat menjadi seorang kudus, karena
persinggungan keimanan dengan kekerasan yang membuatnya di cap secara sosial
sebagai Teroris namun secara religius sebagai “Bomber”. Posisi ini kelak akan
“membaptis” pembunuh sebagai orang suci, atau orang suci sebagai pembunuh.
Inilah cara beragama yang kami
sebut “Parasitisme”. Yakni beragama seperti cara kerja parasit; Menandai
keimanan diri sendiri dengan Maniak, hasrat dan fanatisme yang berujung pada “tindakan
kriminal”.
Aksi kekerasan atas nama agama
hingga Tragedi Bom gereja di Surabaya menunjukkan kepada kita bagaimana
“keyakinan parasit” tersebut bekerja.
Jihad Melawan Parasitisme Agama.
Senin
Malam, tanggal 14 Mei 2018, bertempat di depan Gereja Sentrum Manado, GP. Ansor Manado di bawah pimpinan Rusli Umar
bersama-sama 51 organisasi kemasyarakatan lintas agama di sulawesi utara, turut
menyuarakan “kecaman” terhadap tindak terorisme, termasuk siapapun yang berani
mengganggu NKRI dan kerukunan di Sulawesi Utara khususnya. Sebagai warga NU dan
tentu sebagai warga negara Indonesia, seseorang tentu tidak boleh berfikir
untuk memutus kesejarahan dan kepahlawanan komunitas pesantren dalam pergerakan
mereka mendirikan dan membangun negeri ini. Karenanya, segala bentuk upaya
untuk memecah belah NKRI dan mengacaukan kerukunan di Indonesia, khusunya di
sulawesi Utara, harus di lawan.
Bagaimana cara melawan mereka? Bagi
kami, Ini menjadi “pekerjaan rumah” IAIN Manado pada level pengetahuan ke-Islaman,
dimana perlu ada pendidikan keagamaan berdasarkan wawasan Nusantara. Dalam
ranah pengetahuan Islam misalnya, umat Islam perlu mencontoh pesantren yang
merupakan wujud kultural Islam, yang setiap hari menubuhkan praksis keislaman
tidak sekedar pada gelora ideologis, melainkan laku tradisional kultural.
Dengan mempelajari hal ini, generasi Indonesia di masa mendatang dapat
mengetahui Islam yang lain, yang berbeda dengan wajah “Islam Marah”. Dalam hal
ini, yang muncul tak semata “wajah agama” tapi lebih berupa “wajah ideologi”,
meski ideologi berlambang sentimen keagamaan. Lewat pengenalan akan hal ini, generasi
bangsa akan memahami bahwa agama tidak harus dipertentangkan dengan sistem
sosio-politik yang ada. Sebab, melampaui hal itu, agama ternyata sudah membatin
dalam “kenyamanan kultural” yang membuat para pemeluknya tenteram, hidup dalam
rengkuhan keagamaan keseharian. Maka, IAIN Manado sebagai satu-satunya
perguruan tinggi Islam di sulawesi utara harus mampu menjawab
tantangan-tantangan tersebut.
(Penulis; Abdul Muis)
Your Affiliate Money Printing Machine is ready -
BalasHapusAnd making money with it is as simple as 1--2--3!
Here is how it works...
STEP 1. Input into the system which affiliate products the system will push
STEP 2. Add push button traffic (this ONLY takes 2 minutes)
STEP 3. See how the system explode your list and sell your affiliate products all on it's own!
So, do you want to start making profits??
Your MONEY MAKING affiliate solution is RIGHT HERE