Menyapa Negeri Tumbak
PS3M Manado - Banyak hal menarik yang saya temui ketika saya
berkunjung ke desa tumbak, khususnya pada momoentum perayaan 1 abad desa
tumbak. Pada hari sabtu tanggal 21 April 2018, Desa muslim bernama Tumbak Raya
yang berada di ujung Sulawesi Utara menginjak usianya ke 1 abad. Berbagai
kemeriahan memadati dirgahayu ke 100 tahun desa di Kecamatan Pusomaen,
Kabupaten Minahasa Tenggara Tersebut.
Rangkaian acara yang sangat meriah yang paling
menarik bagi saya, juga pengunjung-pengunjung yang lain adalah bakar ikan
sepanjang kampung. Tradisi bakar ikan ini sebenarnya sudah ada turun-temurun
untuk merayakan ulang tahun desa tumbak. Namun, berdasarkan komentar beberapa
pengunjung yang sebelumnya sudah pernah mengunjungi tumbak pada acara ulang
tahun tumbak, mengungkapkan bahwa momentum satu abad desa tumbak ini adalah
moment yang paling meriah dari tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, berdasarkan diskusi lepas dengan
beberapa penduduk asli tumbak, tradisi Bakar Ikan sepanjang kampung tersebut
adalah bentuk kearifan lokal masyarakat tumbak yang selalu memberikan pelayanan
maksimal kepada para tamu yang sudah ada sejak turun temurun. Hal ini juga saya
rasakan langsung secara pribadi ketika saya berkunjung ke tumbak, dan kemudian
menginap selama satu malam. Bapak yang bermarga Darise, yang merupakan tuan
rumah tempat saya menginap, bukan hanya melayani saya seperti keluarga sendiri,
lebih dari itu, baliau banyak berkisah tentang negeri tumbak. Mulai dari aspek
sejarah, budaya, hingga genealogi penduduk tumbak.
Banyak sudah yang bercerita tentang sejarah
tumbak, diantaranya adalah Bapak Helmi Bachdar, selaku keturunan pendiri Desa
tumbak yakni Syekh Abdussamad Bachdar. Maka dalam tulisan ini, saya hanya akan
menyampaikan beberapa point dalam sejarah tumbak yang relevan berdasarkan hasil
kunjungan saya pada moment satu abad tumbak.
Bapak Darise bercerita kepada saya, bahwa
Walaupun Syekh Abdussamad Bachdar merupakan pengembara dari Arab (Yaman) akan
tetapi, para pengikut beliau adalah kelompok pengembara laut suku Bajo. Mereka
datang dari pesisir Tilamuta (Gorontalo) ke Minahasa Tenggara (Pusomaen)
menggunakan perahu. Pada waktu itu belum ada mesin untuk mendorong perahu. Jadi
perjalanan dilakukan dengan berlayar mengikuti pergerakan angin dan mendayung.
Sementara itu, berdasarkan diskusi saya dengan
Rahmat Bilfaqih yang juga masih keturunan Syekh Abdussamad Bachdar, dalam
perjalanan ke sebuah pulau di tumbak, sempat menjelaskan ke saya bahwa, dahulu
perairan Minahasa Tenggara itu adalah markasnya para perompak (Bajak Laut).
Maka tidak ada orang yang berani melewati perairan Minahasa Tenggara. Hanya
Syekh Abdussamad Bachdar dan pengikutnya-lah yang berhasil melewati dan bahkan
mendirikan perkampungan Tumbak. Mendirikan perkampungan Islam di tengah-tengah
kerawanan akan datangnya perompak, tentu bukan hal yang mudah.
“Tumbak” sendiri, menurut penduduk lokal, ditafsirkan
dalam dua pengertian. Pertama, tumbak
yang berarti singkatan dari “Tumbuhan Bakau”. Memang, dilihat dari segi
geografi, tumbak dikelilingi dengan hutan bakau yang sangat subur dan terawat
hingga hari ini. Kedua, tumbak yang
berarti “Tombak”. Karena dahulu, tombak dianggap sebagai simbol kekuatan.
Zaman
Penjajahan Jepang.
Bapak Darise juga bercerita, bahwa Syech
Abdussamad Bachdar sebagai ulama pendiri desa tumbak, juga memiliki kesaktian
di luar rasio. Pernah suatu ketika, pemerintah Jepang menangkapnya untuk di
eksekusi, karena pengikut beliau yang mulai meresahkan Jepang karena watak
pemberontak orang-orang pesisir ini yang mulai nampak.
Namun, proses eksekusi selalu gagal dikarenakan
tubuh Syekh Abdussamad Bachdar yang kebal peluru dan senjata tajam. Akhirnya,
karena putus asa, dan kekhawatiran akan pemberontakan pengikut Syekh Abdussamad
Bachdar, Jepang kemudian mengembalikan Syekh Abdussamad Bachdar ke rumahnya di
negeri tumbak.
Kearifan
Lokal.
Penduduk tumbak yang sebagian besar ternyata
berasal dari suku Bajo, merupakan penduduk yang masih memiliki keyakinan kepada
penguasa laut; mbo’ dilao. Bagi
siapapun yang melanggar pantangan di laut; misalnya melakukan pengrusakan
terumbu karang, pemboman ikan, menggunakan pukat harimau, maka akan mendapatkan
bala’ (semacam hukuman) dari Mbo’ Dilao. Dan memang sering
terjadi hal-hal yang sulit dirasionalisasi. Orang-orang yang melakukan
pemboman ikan, ternyata di temukan tewas tenggelam beberapa lama setelah dia
melakukan aksinya.
Kearifan lokal ini memang sangat berdampak
positif bagi kelesatrian bahari di desa tumbak. Sampai seratus tahun negeri
tumbak, alam, laut serta terumbu karangnya tetap terjaga kelestariannya.
Walaupun sudah banyak
orang yang mendiskusikan bahkan menuliskan tentang negeri tumbak, apalagi sudah
banyak orang-orang tumbak yang berada di lingkungan menengah ke atas; misalnya,
anggota DPR, Dosen, Insinyur, hingga Dokter. Namun, Tentu masih banyak hal-hal
yang perlu di kaji dan dibahas berkaitan dengan negeri tumbak, khususnya dari
aspek politik dan aspek pendidikan.
Semoga kunjungan saya
pada momentum satu abad tumbak, juga teman-teman yang sempat berkunjung pada
momentum tersebut, bisa menjadi “pemantik” atau langkah awal bagi kita semua untuk “mengorek”
lebih dalam dan menuliskan kembali hal-hal yang belum terpecahkan di negeri
yang indah, yang berada di pesisir Minahasa Tenggara tersebut.!!
(Abdul Muis, 23/04/2018)
Tidak ada komentar: